Kudamai-damaikan nafasku sebelum memasuki bilik kamar, karena di
balik pintu yang akan kulewati ini tergeletak seorang perempuan tua yang sangat
kucintai. Ia telah lama tergeletak menanti kepulangan. Ah, mungkin karena
ketidaksabaranku atau rasa kasihanku pada penderitaannya saya mengira demikian.
Ia sama sekali tidak menderita. Akan segera berpulang atau tetap tergeletak di
atas ranjang, sepertinya tidak pernah ia pedulikan.
Maka,
setelah nafas ini berayun tenang, saya mengetuk pintu lalu masuk perlahan
meskipun tidak mendapatkan jawaban dari dalam. Tangan kananku menggenggam obat
yang baru kubeli dari apotik. Kugenggam erat sebungkus obat itu dan perlahan
kurengganggkan setelah lega melihat senyumnya.
"Kenapa
kau seterburu-buru itu?" Rupanya ia masih bisa melihat jejak
ketergesa-gesaanku tadi, "Kau hanya perlu membelikan obat. Toh, bunda
hanya sakit?"
Tidak
percaya saya mendengar ucapannya. Saya begitu khawatir dengan kesehatannya.
Setiap hari kusisihkan waktu untuk mengurusnya. Meninggalkan kesenangan bersama
teman-teman usai senja. Bahkan terkadang harus kutinggalkan pekerjaan karena
perempuan tua itu kembali krisis, meskipun resikonya saya akan kehilangan
pekerjaan.
"Sekarang
bunda sakit, tapi nanti akan sembuh. Saya ingin bunda segera
sembuh."
Kugenggam tangannya. Kutempelkan pada pipi kananku. Lalu kuingat-ingat tangannya yang dulu menyisiriku menjelang sekolah.
"Kenapa
kau menginginkan bunda segera sembuh? Kau sudah tidak sabar merawat
bunda?"
"Tidak,
bunda. Tidak. Hanya saja saya iba melihat bunda menderita seperti
ini."
"Kau
salah anakku. Bunda tidak menderita. Justru Bunda bahagia melihat kesabaranmu
merawat bunda. Sepertinya kenakalanmu dulu terbalas. Kau tidak berhutang lagi.
Begitulah yang akan kau rasakan ketika kelak kau jadi seorang ibu."
Air
mataku menetes. Ucapanku rupanya telah menyakiti hatinya, menyinggung
perasaannya.
"Maafkan
saya, bunda."
"Kau
tidak perlu minta maaf. Lagi pula untuk apa meminta maaf pada bundamu sendiri.
Sudah kumaafkan semuanya, bahkan sebelum terlintas uncapan maafmu." Ia
menghela nafas panjang, beban kehidupannya pun terpelanting jauh ke angkasa,
"Kau hanya perlu berusaha, nak. Tak usah pedulikan bunda akan segera
sembuh atau tidak. Bukan usahamu yang menentukan."
Tangannya
ditarik dari genggamanku lalu menyelimuti tubuhnya. Saya seperti terusir. Hati
merasakan perih luar biasa karena lidahku telah menyakiti perasaan bunda. Ia
tidak pernah seperti itu dalam berkata-kata, tapi kali ini seperti pesan
terakhir. Meskipun ia senang melihatku merawatnya, ia bisa melihat hatiku yang
sudah tidak sabar lagi.
Air mata
semakin tidak bisa terbendung lagi.
Bandarlampung, 30 April 2012
Written by: @Maspaeng
Categories:
Cerpen